“Masa kecil kaurayakan dengan membaca, kepalamu berambutkan kata-kata…”
Baris Surat Malam untuk Paska karya Joko Pinurbo di atas punya makna khusus untuk saya. Rasanya ada yang akrab di dalamnya. Masa kecil saya berlalu seperti layaknya kebanyakan anak-anak lainnya. Ada tawa dan ada tangis. Enggak selalu indah dan saya enggak terlalu ingat detailnya. Tapi yang pasti, selalu bertemankan buku. Buku-buku menemani saya sepanjang fase kehidupan sampai saat ini. Ada buku-buku yang terlupakan, ada pula buku-buku yang meskipun saya sudah lupa isinya, tapi membangkitkan kenangan-kenangan menghangatkan, kekesalan, bahkan ada yang membangkitkan segala perasaan sampai meluap-luap.
Misalnya, Trio Detektif dan Misteri Karang Hiu adalah buku Trio Detektif pertama yang saya baca. Milik seorang teman sewaktu SD di Ciamis yang rumahnya sering saya dan teman-teman lain tongkrongin sepulang sekolah. Saya ingat “hantu” yang menghuni kamar di atas garasinya. Dan suatu hari kami berdua memberanikan diri, berdiam di kamar itu, hanya untuk membuktikan apa benar ada hantu di sana. Saya enggak ingat apakah kami akhirnya melihat hantu sungguhan. Yang saya ingat adalah saya mengupil di sana, dan upil kecil saya menempel di ujung hidung. Bagi anak kelas 3-4 SD bahkan upil pun bisa jadi sumber rasa malu. Tapi si teman yang baik hati ini tidak mengejek dan menertawakannya, hanya memberi isyarat ada sesuatu di hidung saya dengan menyentuh hidungnya sendiri.
Buku lainnya adalah Little Women-nya Louisa May Alcott terbitan Gramedia, yang disadur (bukan diterjemahkan) dari film-nya. Saya ingat buku itu dari waktu saya SMP. Pada masa itu sebagian besar koleksi saya masih termasuk kategori buku anak. Komik Mari-Chan, trio detektif, goosebumps, Narnia. Saya belum pernah minta dibelikan buku yang agak “dewasa”, meski saya sudah sering membaca Agatha Christie dan (diam-diam membaca) Sidney Sheldon punya Ibu, atau Frederick Forsythe dan Erle Stanley Gardner punya Ayah. Tapi itu sih cerita lain lagi, ya. Nah, soal Little Women ini, saya ingat betul, buku itu beredar di kalangan teman SMP. Yang bikin saya kesal dan agak mendendam adalah hanya saya yang enggak boleh meminjamnya. Dasar pelit, batin saya waktu itu. Gue juga bisa beli sendiri.
Saya mencari buku itu di Toko Efendi (satu-satunya toko buku di Banda Aceh), tapi ternyata enggak ada. Little Women-nya harus diimpor dari Medan atau Jakarta. Akhirnya saya titip ke Ayah yang waktu itu sering bepergian ke Jawa, tapi entah kenapa tidak kunjung dibelikan. Begitu pindah ke Bandung tahun 1997, buku itu saya dapatkan di Gramedia Merdeka. Rasanya seperti menang lotre.
Lalu ada buku Musashi. Buku yang mengingatkan saya pada Ibu. Bukan karena ceritanya sih, tapi karena Ibu saya pernah memenangkan kuis berhadiah berjilid-jilid buku Musashi sewaktu beliau masih remaja, dan harus mengambil sendiri buku itu di Palmerah. Jadi, setiap melewati Palmerah atau berkunjung ke Gedung Kompas Gramedia, saya selalu ingat Musashi dan Ibu.
Buku lain adalah serial Sadler Wells-nya Lorna Hills. Karena itu buku pertama yang saya baca tanpa perlu sembunyi-sembunyi tentang sepasang remaja yang berciuman. Hahahahaha. Begitu saya baca lagi buku itu baru-baru ini, komentar saya cuma, “Yaelah cuma gini doang. Kalau baca buku young-adult zaman sekarang bisa-bisa emak zaman dulu langsung kejer-kejer.”
Nah, kemarini lalu, saya dan suami membongkar kardus-kardus berisi buku yang saya kumpulkan sewaktu masih bekerja di Jakarta, dan serasa menemukan harta karun ketika melihat Si Bandel-nya Edith Unnerstad. Langsung deh, kenangan lama bangkit kembali. Saya jadi ingat buku-buku Edith Unnerstad yang pernah saya punya tapi telah hilang entah ke mana: O’Mungil, Tamasya Panci Ajaib, dan Tamasya Laut. Buku-buku yang membuat saya dulu ingin menamakan anak saya sebagai Desdemona dan Ophelia (padahal nama-nama itu sendiri diambil dari tokoh-tokoh karya Shakespeare). Tentang saya dan teman-teman sesekolah yang bertualang ramai-ramai naik sepeda sampai ke sumber mata air bernama Mata Ie (yang secara harfiah artinya Mata Air). Sepeda saya tergelincir ke pinggir sungai yang berbatu, kaki saya lecet, dan saya nangis menciar-ciar. Akhirnya, teman saya yang cowok membawakan sepeda saya sementara saya nebeng motor bu kepala sekolah. Atau tentang saya dan teman-teman melewati kuburan-kuburan tua hanya sebagai pembuktian bahwa kami berani. Tentang pohon jambu batu yang saya panjat kalau saya ngambek sama Ibu lalu keras-keras menyanyikan Cintaku Padamu-nya Ita Purnamasari sampai seantero tetangga kebisingan (yeaahhh… saya pernah sekampring itu). Tentang betapa sedihnya saya ketika pohon asem besar di depan rumah ditebang demi pelebaran jalan. Tentang laut dengan air jernih nan biru dan angin berembus kencang. Tentang badai yang mengempas-empas daun jendela kamar, karena rumah saya dulu letaknya tepat di seberang hamparan sawah, dengan Gunung di kejauhan yang membatasinya dari lautan. Tentang Aceh sebelum 1998, dan Aceh sebelum tsunami.
Saya ingin anak-anak saya memiliki kenangan-kenangan semacam itu. Koneksi antara dia dan orangtuanya, dengan teman-temannya, dengan lingkungannya, dan pada akhirnya membantunya untuk tumbuh dan memberi mereka kehangatan dan kekuatan saat dirundung sedih sementara orang-orang yang peduli tidak berada di dekatnya. Saya ingin mereka merasakan asiknya bermain detektif-detektif-an di sekolah, menyelidiki “terowongan-terowongan peninggalan Belanda yang katanya memanjang sampai ke sisa-sisa benteng pertahanan di Ulee Lheue.” Mencari tahu apakah tengkorak yang disimpan di laboratorium biologi adalah tengkorak perempuan atau lelaki atau bahkan tengkorak sungguhan. Mencari tahu apa yang hendak disampaikan hantu kucing bermata merah yang menghantui pekarangan depan rumah seorang teman.
Saya ingin anak-anak saya merayakan masa kecil mereka dengan membaca, melewatinya dengan gembira, membiarkan imajinasi mereka meliar. Saya ingin mereka tahu bahwa buku adalah sebaik-baiknya teman sejati, seperti kata Aidh Al-Qarni dalam La Tahzan,“buku adalah teman sejati… yang tidak akan memujimu dengan berlebihan, sahabat yang tidak akan menipumu, dan teman yang tidak membuatmu bosan. Dia adalah teman yang sangat toleran yang tidak akan mengusirmu, dia adalah tetangga yang tidak akan menyakitimu, dan dia adalah teman yang tidak akan memaksamu mengeluarkan apa yang kaumiliki. Dia tidak akan memperlakukanmu dengan tipu daya, tidak akan menipumu dengan kemunafiqan, dan tidak akan membuat kebohongan.”
Dan dengan buku, saya harap mereka akan menciptakan sejarah mereka sendiri dan menjadi insan yang meski tidak sempurna tetapi tetap baik, tetap bahagia, dan bisa berguna serta meraih cita. Aamin.